Sabtu, 28 Januari 2012

Senja di Gunung Rowo

SENJA DI GUNUNG ROWO
Mahfud peacevirus

Mentari melingsir ke ufuk barat, sinarnya tidak begitu panas, hanya hangat. Cahayanya sampai kemana-mana memantulkan rona merah di hamparan air waduk Gunung Rowo, suasana yang amat indah tapi tak seindah hatiku.

Warung-warung makan telah banyak yang tutup, para nelayanpun bergegas untuk pulang. Perahu-perahu kecil itu kian menepi, mentari kian jauh, sinarnya semakin redup. Sebentar lagi bulan bersiap-siap mengkudeta matahari. Langit biru beriringan dengan awan yang menggumpal, senja sudah dikeroyok awan hitam yang menggantung memekat di udara. Senja itu…. Senja di Gunung Rowo.

Aku duduk tak berdaya di balik bambu warung mbak Uli, ini adalah satu-satunya warung yang buka sampai malam. Duduk termenung sendirian, gulungan tembakau berbalut kertas putih menyisip di jemariku yang kadang membuat mulutku mengepulkan asap kotor. Sayang sekali, lukisan alam yang begitu indah ini harus kulewati dengan hati yang berantakan.

Semua berawal empat tahun tiga bulanan yang lalu…..
***

Dia menggenggam jemariku, bibirnya berbisik, “Aku sayang kamu Mas”. Matanya yang begitu lentik tiba-tiba menyucurkan air mata mengalir di sela-sela pipinya yang begitu merona. Berderai, deras jatuh ke bumi.

Dosa terindah itu terjadi di sini di Gunung Rowo, saat mentari hendak pulang ke peraduannya. Aku pun sama mencoba menata hati yang entah apa yang terasa, “Aku juga sayang kamu, Sayang”. Seperti hilang keimananku setelah keluar kata-kata manja itu, sesegera kukecup keningnya. Dia hanya bungkam membisu, menikmati kecupan pertamaku itu “Ya Allah, kenapa engkau biarkan setan yang laknat menggerogoti keimananku” sesalku dalam hati.

Senja di Gunung Rowo kala itu adalah potret alam yang terindah yang tidak akan dapat dilukiskan oleh pelukis manapun, tak tersyairkan oleh pujangga-pujangga juga tak dapat dinyanyikan dengan lagu-lagu sekalipun itu merdu. Di sinilah di Gunung Rowo wisata bahari yang terletak di Pati ujung barat, tepatnya di desa Sitiluhur yang masih masuk di Kecamatan Gembong. Pati Bumi Mina Tani.

Aku masih terus bergelut dengan kata-kata mesra, bak raja gombal semua kukatakan padanya
“Tenang sayang, aku pergi takkan lama dan nanti jika aku kembali kupastikan kau akan memakai gaun pengantin, duduk bersanding denganku di singgasana, kau milikku sayang cinta ini milik kita berdua, I love you”
Begitulah kiranya rayuan gombal yang pernah melingsir dari mulutku. Semua terasa begitu indah serasa aku adalah raja dan dia adalah permaisurinya.
“Kunantikan kehadiranmu, Mas, semoga tuhan meridhoi” begitulah katanya yang mengalir manis seperti madu dari bibirnya yang tipis. Mona, begitu aku memanggilnya dari nama panjangnya Maimunatun Fitroh, kekasih yang sudah kucintai semenjak kita bersama-sama duduk di bangku aliyah.
***

Ini bukan lagi di Gunung Rowo, tak lagi di bumi Pati semenjak dosa terindah di senja itu aku memutuskan untuk melancong ke negeri rantau karna Pati tak mampu mewujudkan mimpi-mimpiku. Entah apa yang kucari disini, yang pasti disini tak sama dengan Pati. Dimana Pati sangat molek dengan keindahan alamnya.
Berat awalnya ketika harus meninggalkan kota gandul, terlebih disana telah kulukis dalam lembar-lembar kanvas kenangan cinta yang teramat manis. Hati kecilku bergumam “Aku pasti kembali untuk menemuimu, sayang”

Aku tau konsekuensinya bahwa hidup tak hanya dengan cinta, untuk itu disini di negeri rantau aku berjuang keras untuk mencari modal hidup, Malam jadi siang, siang terus berjuang, banting tulang, peras keringat. Bekrja keras. Demi untuk memenuhi kebutuhan ibu dan adik-adiku di kampung halaman. Pati.

***
Sudah hampir tiga hari aku di kapal ini, bercampur dengan aroma laut yang khas, sengaja kepulanganku ini tak berkabar sebelumnya, aku berharap ini akan mejadi kejutan bagi mereka yang merindukanku, yang mengharapkanku kembali.
Sesampainya di Pati,  tempat pertama yang ingin ku singgahi adalah Gunung Rowo, tempat yang amat kurindu. Rindu dengan hembusan anginya, rindu dengan aroma ikan bakarnya, rindu dengan bau keringat nelayan-nelayan. Bau perjuangan, serta yang rindu diatas semua rindu. Rindu dengan dosa terindah bersama Mona.
***
Aku duduk di bale bambu warung Mbak Uli, menunggu ikan bakar kesukaanku matang. Ku rogoh nokiaku dari saku celana,
…ku tunggu di warung Mbak Uli…
Sebuah pesan singgkat ku layangkan pada Mona. Rumahnya memang tak berjarak jauh dari Warung Mbak Uli, karena memang disinilah pertama kali aku melihatnya. Mengenal paras ayunya. Dan tau cinta indahnya.
Belum sampai ikan bakarku di hidangkan, sebuah mobil Katana putih berhenti, awalnya ku fikir sama-sama pelanggan Mbak Uli, tapi setelah kulihat dari kaca depannya, Mona duduk disana bersama denga seorang lelaki yang lebih tua darinya dan aku tak mengenalnya. Hatiku bertanya-tanya.
“kapan Pulang ?” Tanya Mona padaku. Logatnya masih sama.lembut.
“kemarin,” jawabku. Aku masih terperangah tanda Tanya besar masih berjubal di sudut-sudut hatiku, penasaran dengan lelaki mencurigakan yang bersama Mona itu.
“Mas, kenalin ini teman  lamaku, namannya Aji,” begitu dia mengenalkan aku pada lelaki yang dipanggilnya Mas itu. Lelaki itu menyalamiku,  di memberi tahukan namanya.
“oh.. ya kenalkan nama  saya aditya” begitu ucapnya.
Tak lama  setelah perkenalan yang singkat itu, dia bergegas pergi meninggalkan Mona  bersamaku. Dia pacu Katana putihnya semakin jauh, dan hilang dari pandangan.
“kemana saja kamu?” Tanya Mona berusaha menyelidiki.
“aku mempersiapkan diri sayang, dan kini aku kembali”
“jangan panggil aku sayang lagi, kamu telat”
“apa magsudmu?”
“Aditya dan aku kan menikah lusa”
“memangnya siapa dia berani mengambil kamu dariku?”
“dia adalah anggota DPRD, kekayaan membuat ayah dan ibuku tergila-gila padanya” dari kalimat terakhir yang di ucapkannya, tiba-tiba matanya sembab, bulir-bulir air mata perlahan membasahi bumi.
***
Hatiku pecah berantakan. Menjadi puin-puin kecil yang  tak dapat lagi menyatu. Tak ingin kepahitan itu berlanjut, Mona dia pergi setelah memberiku kecupan hangat. Dosa terindahh itu terulang lagi,  tak kuduga, setelah empat tahun berhijrah di negri rantau, pulang hanya untuk mengecap ke pahitan hidup. Kekasihku menikah dengan orang  lain. ”Semurah itukah ketulusan cinta di beli dengan kekayaan ??” pikirku.
Aku duduk tak berdaya di bale bambu warung mbak Uli, ini adalah satu-satunya warung yang buka sampai malam. Duduk termenung sendirian, gulungan tembakau berbalut kertas putih menyisip di jemariku yang kadang membuat mulutku mengepulkan asap kotor. Sayang sekali, lukisan alam yang begitu indah ini harus kulewati dengan hati yang berantakan.

***
“Tenang sayang, aku pergi takkan lama dan nanti jika aku kembali kupastikan kau akan memakai gaun pengantin, duduk bersanding denganku di singgah sana, kau milikku sayang cinta ini milik kita berdua, I love you”
Terngiang-ngiang ucapanku tempo dulu, dalam hati berbisik “bersanding denganku? Ah, hanya mimpi, bersanding dengannya itu yang terjadi” senja di Gunung Rowo.



 Gunung rowo, 04 Juli 2011
© mas oe2t khoiriyah

Bukan Cerpen Cinta

BUKAN CERPEN CINTA
Story by :Pissvirus
Ingin ku reguk kembali masa itu, untuk ku ulang lagi kenangan yang lebih indah dan berarti, kulukis dalam kanvas yang putih ku jadikan momentum yang akan terkenang sepanjang masa. Namun sayang semua telah terlanjur, ibarat patung es  yang telah terpahat takkan kembali menjadi balok – balok es dengan Kristal-kristalnya yang cantik.
***
“Ini adalah kesekian kalinya aku harus berkata pada orang tuamu bib, tapi apa reaksi mereka? Mereka hanya berkata, kamu perlu mobil dan apartemen mewah anak muda, bukan motor buntut yang selalu kau banggakan itu” ucapku penuh gelisah.
Langit kian meredup, sinar mentari terhalang oleh kabut hitam, suasana Gunung Rowo semakin buruk tak seperti biasanya, Yuli masih terdiam, bibirnya kaku dengan ucapanku barusan. Hingga butir butir hujan jatuh dari lanngit dia masih saja bisu sejuta bahasa, Nampak dari raut wajahnya beban pikiran yang mendalam.
Hujan bukan semakin reda justru semakin deras, kulepas jaket ku untuk kupakaikan pada Yuli,
“lebih baik berteduh dulu di gubuk itu yuu.. setelah reda ku antarkan kau pulang” ucapku.
“baiklah bib, kuharap hujan akan turun lebih lama…” Yuli menjawab.
***
Di gubuk tua dengan arsitektur bangunan tua, dinding-dindingaya terbuat dari bambu sedangkan atapnya terbuat dari ilalang seadanya, namun cukup untuk melindungi diri dari derasnya air hujan. Petir menggelegar dari langit sore itu hujan turun teramat deras suhu turun seketika beberapa derajat tubuhku mengkikil,
“Romi sayang, hujan turun begitu deras, petirnya menyambar telinga, aku takut,” Ucap Yuli yang tubuhnya juga menggigil.
“jangan takut bib, aku selalu ada di sampinmu” rayuku.
“mungkin orang-orang belum menyatukan kita, tapI bukakankah cinta sudah menyatukan kita?” Ucapnya  tiba-tiba, ibarat petir yang membelah hujan. Aku tersentak kaget, tak pernah terfikirkan olehku jika Yuli dapat megatakan sepeti itu.
“tidak sayang, cinta kita belum bersatu, sebelum akad nikah kita jalani, sebelum para wali menikahkan kita, sebelum para saksi bilang sah untuk kita, sebelum semua itu cinta kita belum bersatu, sabarlah dulu sayang, Insya Allah kita akan tetap bersatu.” Ucapku menguatkannya.
“tapi berapa lama lagi bib, semakin lama semakin besar pula dosa yang kita perbuat,” ucapnya mengeretak. Seketika air matanya meleh. Deras. Sederas hujan di Gunung Rowo senja itu.
Batinku merenung ”semua ini karena orang tuamu sayang, andai mereka tidak menuntut kekayaan, pasti kini kau sudah menjadi istriku” ucapku dalam hati. Senja yang dingin itu kian mencekam ketika Yuli tiba – tiba melepas kerudung yang ia kenakan, rambutnya hitam lurus sangat serasi dengan parasnya yang cantik merona.
“kenapa tidak kita buat saja mereka menyatukan kita sayang?” ucap Yuli ganas. Tanganya meraba tubuhku, sorotnya liar seperti mahluk tak bertuhan,
“zinai aku Romi !!!, cepat Zinai aku agar kita segera bersatu, agar orang – orang tau, cinta tak dapat memisahkan kita, cepat Romi !!! Zinai aku” ucapnya begitu liar, benar – benar dibawah alam kesadaran.
astaghfirullahaladzim, istighfar Yul !!!, ada Allah yang selalu mengawasi kita, tuhan yang maha tau, yang selalu megarahkan pandanganya pada setiap gerak tingkah manusia.
***
Gemericik air turun dari langit sedikit mereda, Yuli tersungkur di pojok ruang gubuk tua itu, matanya masih berbinar merah, bajunya ia kenakan seadanya, masih banyak dari auratnya yang belum tertutupi.
Perbuatan itu baru saja kita lakukan setelah zuli memaksa aku untuk mezinainya, aku tak berdaya melihat kemolekankan tubuhnya, tubuh yang biasanya terbungkus rapi, indah manawan memporakporandakan dinding keimanan ku,  “astaghfirullahaladzim,  maafkan aku ya Allah” pintaku pada tuhan semesta alam.
“setalah semua ini ku harap kita benar-benar dapat bersatu…” ucapku.
“kuharapkan juga begitu sayang, maafkan aku yang harus menyeretmu ke lembah kenistaan ini, antarkan aku pulang, aku ingin segera mengabarkan berita buruk ini..” Yuli mengucap penuh harap.
***
 “ apa !!!, apa yang baru saja kau lakukan itu nak ???, murka Allah bersamamu..”
“tapi abah, aku tak tahan denga cacian orang tua Yuli, terlalu menyakitkan hatiku !!!” kemarahan abah meledak setelah tau semua kelakuanku.
Hukum Allah harus berdiri tegak, jika kau menghendaki menikah denganya, haruslah dengan delapan puluh  kali pecutan dan satu tahun asingan, kau sanggup dengan semua itu anakku ??? itulah kansekuensi yang harus kau tanggung !!” ucap abah mencoba menegakkan hukum  Allah.
“baiklah abah aku bersedia, tapi tolong jangan lakukan itu kepada Yuli,kasihan dia” dengan nada mengemis aku memohon pada abah.
sesungguhnya jika putriku Siti Fatimah mencuri, niscaya akan ku potong tanganya begitu kata nabi, kau paham kan anakku?
***
Siang. Mentari bersinar dengan teriknya yang menguapkan keringat, semua warga berkumpul di halaman balai desa Sitiluhur sesuai dengan permitaan abahku, disana ada aku juga Yuli menatap semua warga dengan rasa malu yang begitu besar. Sebentar lagi eksekusi itu akan segera di laksakan dan hukum akan tegak.
“tar..tar ..tar..” sebuah pecut menyambat punggungku, pedih rasanya, tapi inilah hukum illahi, hokum yan paling indah, lebih baik kurasakan pedih  di dunia dari  pada harus malaikat neraka yanmemecuti punggungku.
Isak tangis Yuli tak terelakkan menahan perihnya luka sambaran pecut, begitu juga orang tuanya, putri semata wayangnya kini harus menjalani peradilan. Banyak warga yang merasa iba dengan nasib kami, tapi tak jarang jua dari mereka yang benci, menatap dengan penuh murka.
 “tujuh delapan, tujuh sembilan, delapan puluh..” bunyi suara warga yang turut menghitung,
Alhamdulillah,” bathinku berbisisk lirih. Setengah perjalanan hukum ini sudah kujalani, tapi tak sama denga kekasihku, pada pecutan ke delapan puluh itulah, aku memdengarnya, berbisik di telingaku,
“ Romi, aku mencintaimu” lalu, sedikit jega “Allahhuakbar”, tiba – tiba tubuhnya tersungkur tak berdaya, orang tuanya menanggapi dengan terkejut, menangis sejadi-jadinya.
Tak ku sangka, jika hukuman yang kujalani, akan memisahkan aku dan Yuli untuk selamanya, kekasihku itu kini telah tiada di wafat dengan memikul setengah dari hukuman yang seharusnya. Dalam hatiku “semoga Allah menunjukakkan ghofururrohimnya, memaafkan dosa yang telah kita perbuat bersama.
***
Ingin ku reguk kembali masa itu, untuk ku ulang lagi kenangan yang lebih indah dan berarti, kulukis dalam kanvas yang putih ku jadikan momentum yang akan terkenang sepanjang masa. Namun sayang semua telah terlanjur, ibarat patung es  yang telah terpahat takkan kembali menjadi balok – balok es dengan Kristal-kristalnya yang cantik.
Tapi sayang semua takkan bisa, kini hanyalah kertas buram di tengah lembaran hidupkku.

**end**
Pati, 17 Ramadhan 1342 H
©pissviruscreation

Rabu, 04 Januari 2012

Sunyi Pagi, Jelang Mati...

sepi datang padaku pagi ini, sebelum mentari terbiasa menbangunkanku,
hanya diam. tak sepotong kata terucap.
menangis kemudian.
aku mencoba bercermin pada bayang-bayang kelam
yng menghantuiku malam tadi.
yang berbisik padaku lewat mimipi,
kawan...
tidakkah kau ingat hari ini ?
apa ?? kataku.

hari ini terakhir kau di bumi, tidak jawabku
kenapa kau masih juga berkata tidak, waktumu tak banyak.

(sunyi kota Pati. pissvirus 2012)