Sabtu, 28 Januari 2012

Bukan Cerpen Cinta

BUKAN CERPEN CINTA
Story by :Pissvirus
Ingin ku reguk kembali masa itu, untuk ku ulang lagi kenangan yang lebih indah dan berarti, kulukis dalam kanvas yang putih ku jadikan momentum yang akan terkenang sepanjang masa. Namun sayang semua telah terlanjur, ibarat patung es  yang telah terpahat takkan kembali menjadi balok – balok es dengan Kristal-kristalnya yang cantik.
***
“Ini adalah kesekian kalinya aku harus berkata pada orang tuamu bib, tapi apa reaksi mereka? Mereka hanya berkata, kamu perlu mobil dan apartemen mewah anak muda, bukan motor buntut yang selalu kau banggakan itu” ucapku penuh gelisah.
Langit kian meredup, sinar mentari terhalang oleh kabut hitam, suasana Gunung Rowo semakin buruk tak seperti biasanya, Yuli masih terdiam, bibirnya kaku dengan ucapanku barusan. Hingga butir butir hujan jatuh dari lanngit dia masih saja bisu sejuta bahasa, Nampak dari raut wajahnya beban pikiran yang mendalam.
Hujan bukan semakin reda justru semakin deras, kulepas jaket ku untuk kupakaikan pada Yuli,
“lebih baik berteduh dulu di gubuk itu yuu.. setelah reda ku antarkan kau pulang” ucapku.
“baiklah bib, kuharap hujan akan turun lebih lama…” Yuli menjawab.
***
Di gubuk tua dengan arsitektur bangunan tua, dinding-dindingaya terbuat dari bambu sedangkan atapnya terbuat dari ilalang seadanya, namun cukup untuk melindungi diri dari derasnya air hujan. Petir menggelegar dari langit sore itu hujan turun teramat deras suhu turun seketika beberapa derajat tubuhku mengkikil,
“Romi sayang, hujan turun begitu deras, petirnya menyambar telinga, aku takut,” Ucap Yuli yang tubuhnya juga menggigil.
“jangan takut bib, aku selalu ada di sampinmu” rayuku.
“mungkin orang-orang belum menyatukan kita, tapI bukakankah cinta sudah menyatukan kita?” Ucapnya  tiba-tiba, ibarat petir yang membelah hujan. Aku tersentak kaget, tak pernah terfikirkan olehku jika Yuli dapat megatakan sepeti itu.
“tidak sayang, cinta kita belum bersatu, sebelum akad nikah kita jalani, sebelum para wali menikahkan kita, sebelum para saksi bilang sah untuk kita, sebelum semua itu cinta kita belum bersatu, sabarlah dulu sayang, Insya Allah kita akan tetap bersatu.” Ucapku menguatkannya.
“tapi berapa lama lagi bib, semakin lama semakin besar pula dosa yang kita perbuat,” ucapnya mengeretak. Seketika air matanya meleh. Deras. Sederas hujan di Gunung Rowo senja itu.
Batinku merenung ”semua ini karena orang tuamu sayang, andai mereka tidak menuntut kekayaan, pasti kini kau sudah menjadi istriku” ucapku dalam hati. Senja yang dingin itu kian mencekam ketika Yuli tiba – tiba melepas kerudung yang ia kenakan, rambutnya hitam lurus sangat serasi dengan parasnya yang cantik merona.
“kenapa tidak kita buat saja mereka menyatukan kita sayang?” ucap Yuli ganas. Tanganya meraba tubuhku, sorotnya liar seperti mahluk tak bertuhan,
“zinai aku Romi !!!, cepat Zinai aku agar kita segera bersatu, agar orang – orang tau, cinta tak dapat memisahkan kita, cepat Romi !!! Zinai aku” ucapnya begitu liar, benar – benar dibawah alam kesadaran.
astaghfirullahaladzim, istighfar Yul !!!, ada Allah yang selalu mengawasi kita, tuhan yang maha tau, yang selalu megarahkan pandanganya pada setiap gerak tingkah manusia.
***
Gemericik air turun dari langit sedikit mereda, Yuli tersungkur di pojok ruang gubuk tua itu, matanya masih berbinar merah, bajunya ia kenakan seadanya, masih banyak dari auratnya yang belum tertutupi.
Perbuatan itu baru saja kita lakukan setelah zuli memaksa aku untuk mezinainya, aku tak berdaya melihat kemolekankan tubuhnya, tubuh yang biasanya terbungkus rapi, indah manawan memporakporandakan dinding keimanan ku,  “astaghfirullahaladzim,  maafkan aku ya Allah” pintaku pada tuhan semesta alam.
“setalah semua ini ku harap kita benar-benar dapat bersatu…” ucapku.
“kuharapkan juga begitu sayang, maafkan aku yang harus menyeretmu ke lembah kenistaan ini, antarkan aku pulang, aku ingin segera mengabarkan berita buruk ini..” Yuli mengucap penuh harap.
***
 “ apa !!!, apa yang baru saja kau lakukan itu nak ???, murka Allah bersamamu..”
“tapi abah, aku tak tahan denga cacian orang tua Yuli, terlalu menyakitkan hatiku !!!” kemarahan abah meledak setelah tau semua kelakuanku.
Hukum Allah harus berdiri tegak, jika kau menghendaki menikah denganya, haruslah dengan delapan puluh  kali pecutan dan satu tahun asingan, kau sanggup dengan semua itu anakku ??? itulah kansekuensi yang harus kau tanggung !!” ucap abah mencoba menegakkan hukum  Allah.
“baiklah abah aku bersedia, tapi tolong jangan lakukan itu kepada Yuli,kasihan dia” dengan nada mengemis aku memohon pada abah.
sesungguhnya jika putriku Siti Fatimah mencuri, niscaya akan ku potong tanganya begitu kata nabi, kau paham kan anakku?
***
Siang. Mentari bersinar dengan teriknya yang menguapkan keringat, semua warga berkumpul di halaman balai desa Sitiluhur sesuai dengan permitaan abahku, disana ada aku juga Yuli menatap semua warga dengan rasa malu yang begitu besar. Sebentar lagi eksekusi itu akan segera di laksakan dan hukum akan tegak.
“tar..tar ..tar..” sebuah pecut menyambat punggungku, pedih rasanya, tapi inilah hukum illahi, hokum yan paling indah, lebih baik kurasakan pedih  di dunia dari  pada harus malaikat neraka yanmemecuti punggungku.
Isak tangis Yuli tak terelakkan menahan perihnya luka sambaran pecut, begitu juga orang tuanya, putri semata wayangnya kini harus menjalani peradilan. Banyak warga yang merasa iba dengan nasib kami, tapi tak jarang jua dari mereka yang benci, menatap dengan penuh murka.
 “tujuh delapan, tujuh sembilan, delapan puluh..” bunyi suara warga yang turut menghitung,
Alhamdulillah,” bathinku berbisisk lirih. Setengah perjalanan hukum ini sudah kujalani, tapi tak sama denga kekasihku, pada pecutan ke delapan puluh itulah, aku memdengarnya, berbisik di telingaku,
“ Romi, aku mencintaimu” lalu, sedikit jega “Allahhuakbar”, tiba – tiba tubuhnya tersungkur tak berdaya, orang tuanya menanggapi dengan terkejut, menangis sejadi-jadinya.
Tak ku sangka, jika hukuman yang kujalani, akan memisahkan aku dan Yuli untuk selamanya, kekasihku itu kini telah tiada di wafat dengan memikul setengah dari hukuman yang seharusnya. Dalam hatiku “semoga Allah menunjukakkan ghofururrohimnya, memaafkan dosa yang telah kita perbuat bersama.
***
Ingin ku reguk kembali masa itu, untuk ku ulang lagi kenangan yang lebih indah dan berarti, kulukis dalam kanvas yang putih ku jadikan momentum yang akan terkenang sepanjang masa. Namun sayang semua telah terlanjur, ibarat patung es  yang telah terpahat takkan kembali menjadi balok – balok es dengan Kristal-kristalnya yang cantik.
Tapi sayang semua takkan bisa, kini hanyalah kertas buram di tengah lembaran hidupkku.

**end**
Pati, 17 Ramadhan 1342 H
©pissviruscreation

Tidak ada komentar:

Posting Komentar