Senin, 25 Juni 2012

Di Tinggal senja (sendiri)


Di Tinggal Senja (Sendiri)
Oleh : Mahfud peacevirus

“ahh, yang benar saja?” tanyaku.
“Benar  Jas, lihatlah bintang yang bersinar sangat terang itu, percayakah kau jika aku akan terbang tuk meraihnya dan akan special ku persembahkan untukmu?” ujarnya meyakinkanku.
Sebuah malam yang bertabur bintang, Senja mengajakku berangan bebas, dia menjajinkanku akan memetikkan sebuah bintang yang bersinar sangat terang.
“akan aku petikkan bintang yang bersinar sangat terang itu hanya untukmu Jas, aku akan berterbangan bersama para bidadari di atas sana, akan ku sambut tangan tuhan , aku akan bersenandung dengannya, akan ku pinta sebuah jalan terbaik untuk kita. Percaya deh sama aku!!” Senja masih juga menebar Janji-janjinya.
“iya iya deh aku percaya sama kamu, terus kapan kamu akan terbang ke atas sana??”
“apa kamu inginkan itu sekarang?”
Sebentar Senja menutup mataku, membawaku ke imajinasinya yang lain. Dunia sentak menjadi hitam, kemudian berubah menjadi merah, merah yang sangat merah, perlahan lahan dunia yang hanyadi penui satu warna merah ini berangsur-angsur memudar, terus memudar hingga akhirnya membentuk kristal-kristal berwarna putih. Pada tetesan kristal terakhir membentuk berbagai bentuk benda seperti pada duniaku. Ada pohon-pohon rindang, ada burung-burung berkicauan, adapula aliran sungai yangdi dalamya ada dua ikan yang saling berenang. Satu ikan berwarna hitam dan yang lainya berwarna putih, mereka berenang saling mengitari sehingga membenmtuk putaran dua ikan.
“Anjas…liahatlah ikan-ikan itu, dia hilir mudik mengitari, membentuk sebuah yin yang, lihatlah betapa menariknya”. dia menarik-narik bajuku, sorot wajahnya memancarkan rona kebahagiaan.
“aku ingin sekali sepeti ikan-ikan itu, yang damai dalam tenangnya aliran sungai”. Dia melanjutkan celotehnya.
“apa istimewanya sih ikan-ikan itu?” sahutku kemudian.
Sambil tersenyum dia menjawab pertanyaanku barusan.
“ahh, kau ini tak bisa berimajinasi, betapa bahagianya menjadi ikan, dia selalu merasakan kedamaian, sedikitpun dia tak merasakan beban kehidupan, dan yang paling istimewa. Ikan-ikan itu tidak akan menaggung siksa tuhan di alam kekal nanti”.
Aku pun tekekeh melihat keceriaannya.  Apa yang sebenarnya ada di benaknya?.
Kali ini Senja kembali menutup mataku dengan kesepuluh jarinya. Dia menyentuh lapisan kulitku dnegan lembut. Sangat lembut, bahkan karena kelembutannya membuatku tak sadarkan diri, ketidak sadaranku adalah sebual halusinasi yang menyeret seluruh angan ke alam yang di penuhi tanda tanya. Alam yang tidak aku kenali, dan anjas terus membawa ragaku hingga ketitik diman aku bisa melihat kembali. Kali ini dia mebawaku ke hamparan taman yang di penuhi bunga beraneka warna. Ada mawar, ada melati, ada merah ada putih. Bermekaran semua membentuk sebuah sudut surga. Bunga –bunga itu di sirami oleh rintik-rintik huja yang turun dari awan putih.
“Jas, pernahkah kau memikirkan betapa mulianya rintik-rintik hujan?”  Senja kembali melonntarkan pertanyaan anehnya kepadaku.
“ahh.. kau ini, memangnya menurutmu apa mulia nya rintik- rintik hujan?” ujarku belaga bodoh di hadapanya. Aku ingin membuka sebuah rahasia yang Senja simpan di balik semua pertanyaan-pertanyaannya.
“andaikan saja dulu tuhan mentakdirkan aku menjadi rintik-rintik hujan, pasti banyak orang yang berterima kasih kepadaku, dan berharap aku selalu hadir di musimku”.
Sebelum aku menyeka perkataannya dia kemudian melanjutkan,
“bayangkan, rintik-rintik hujan mampu menyirami semesta alam ini, lalu dari setiap tetesannya tumbuh berbagai macam tanaman, tumbuh bunga, tumbuh padi, tumbuh beraneka pepohonan dan berasal dari tanaman itu kemudian hewan dan manusia bisa melangsungkan kehidupannya”
Aku masih terbelalak mendengar sebuah penjelasan dari Senja.bahkan mendengar semua penjelasan itu itu burung-burung yang tadinya hinggap diranting-ranting pohon meraskan keterkejutan. Mereke bergerombolen terbang menjauh, menuju ke langit.
“hai.. mau keman kalian?” tanya Senja ke burung-burung itu.
“ke surga!” jawab salah satu burung itu lantas terbang menjauh
“tunggu aku!” jerit Senja, perlahan senja pun menyati dengan kawana burung itu, tebang menjauh hingga ku tak dapat lagi melihatnya.
 Apa-apaan ini? Dunia macam ini? Aneh? Darimana hadirnya dimensi- dimensi kehidupan yang aneh ini? Ini bukan alam kehidupanku.
“aaaahhhhh !!!!!!” jeritku.
Dari luar kamarku terdengar suara Ummi ku,
“ada apa Jas?, sudah malam kok teriak-teriak!”
Lalu kupandangi sekitar,  
“uuhh, hanya mimpi rupanya, mimpi macam apa ini?” ucapku dalam hati
Mataku terasa ringan sekali, kupandangi jam yang tergantung di tembok,
“baru jam satu” lirihku, tapi aku susah melanjutkan tidurku kembali. Ku gerakkan tubuh ku kedapur. Setelah ku reguk segelas air mineral, kakiku kuseret ke kamar mandi.
Bissmillahirohmannirrohim, nawaitu wudhua lirofil….” dan mulai ku basuh mukaku.
***
Setelah tahajjud dan beberapa dzikir sederhana, aku beranjak kulihat beberapa buku masih berserakan di atas meja. Membuka-membuka beberapa lembar mungkin akan mengundang kantukku kembali.
Fikiranku masih melayang pada mimpi aneh barusan, sebenaranya apa yang inigin di sampaikan dengan mimpi yang begitu aneh itu, kuingat kembali setiap jengkal, setiap depa bagian dari mimpi aneh ini. Ada apa sebenarnya?
“ahh.. itukan hanya mimpi” benakku.
Kulihat kembali jam dinding tua itu.
“sudah hampir pagi, jam tiga. Untuk kembali tidur udah nanggung nih” hatiku bergumam.
Sisa fajarpun akhirnya kulahap habis dengan lembaran-lembaran mushaf illahi, sampai akhirnya suara Pak Ummar menyerukan irama kemenangan. Pertanda jamaah shubuh segera di laksanakan, seusai jamaah subuh. Sayup-sayup terdengar suara Pak Ummar marbot masjid mengumumkan sesuatu
Innalillahi Wa inna ilaihi rojiun”  di ulang-ulang sebanyak tiga kali lafal itu. Kemudian dilanjutkan
“telah berpulang ke rahmatullah saudari Kumala Senja Hafsari binti Abdullah…”
“aaaahhhh…..Ya Allah” aku tersentak. Dadaku baru saja di sambar petir dengan volta tertinggi.
innalilah… ya Allah terimalah sahabatku Senja duduk di sisimu” doaku kemudian.
***
“Ini mungkin jawaban dari mimpi aneh ku semalam. Senja, sahabat yang sudah kukenal semenjak aku duduk bersama-sama dengannya di bangku SD, ternyata kini meninggalkan aku lebih dulu, Terbanglah sahabatku !! terbanglah bersama bidadari di sana! Raihlah tangan tuhan! Kau telah di sambut dengan sinar bintang yang sangat terang benderang. Kau mungkin menjadi ikan-ikan yang berenang di telaga surga dengan damai. Hidup dengan tanpa beban kehidupan. Damailah kawanku di surga nanti.” Doaku ku ucapkan seiring dengan acara pemakaman Senja.
Kuputar otakku untuk mengenang hari-hari yang pernah kulewati bersamanya. Senja sahabatku,
“kawan, kau lah hujan, kaulah yang selama ini menyirami, sehingga aku maumpu tuk melanjutkan hidupku, tapi kenapa kau malah meninggalkanku lebih dulu?? Akankah kau biarkan kehidupanku  manjadi tandus?”. Air mataku perlahan meleleh. Hanyut dan menetes.
Senja. Telah meninggalkan aku sendiri.
“nak, semalam Senja mengigil, dia menyebut-nyebut namamu terus, saat ibu tanya ada apa di menyodorkan kertas ini” kemudian ibu Senja menyerahkan gulungan kertas itu kepadaku.
Ku buka perlahan, dalam selembar kertas itu Senja menuliskan :
Senja akan segera tenggelam, dan mentari takkan terbit lagi,
Senja kini akan segera pergi mninggalkanmu dalam sepi…
Tapi percayalah kawan kau takkan sendiri,
Karna dalam bibirmu ada tawaku,
Dalam matamu ada harapanku,
Dan dalam  hatimu ada bayangku,
Sahabatku…tubuhku terasa sangat dingin tanpa belainamu
Sekujur tubuhku telah di gerogoti oleh Kanker stadium 4
Maka tak layak lagi bagiku tuk bermimpi, apalagi menjanjikankanmu memetikkan bintang,
Yang mungkin aku lakukan adalah menjadi ikan-ikan yang menghamba,
                        Pasrah akan takdirnya tuk merasakan kedamaian di dalam air,
Yang mungkin kamu lakukan adalah menjadi hujan,
                        Yang menyirami taman-taman, memberi bagi semua
Aku akan segera terbang kawan..
Terbang meraih tangan tuhan…”
“aaahhhh…” kini tangisku yak lagi dapat ku tahan, menatap temanku tinggalah batu nisan.
***end***

Sudut kota beriman,
Senja (segeralah kembali)
22 Juni 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar